Life Begins at 60’s

Hari Ibu memang menjadi momen tepat bagi perenungan sepak-terjang ibu, orang yang melahirkan kita ke dunia ini. Demikian halnya dengan ibu saya. Saya mempunyai sebuah catatan yang sangat spesial tentang ibu saya, yaitu beliau menemukan hidupnya kembali di usia 60 tahun.

Ya, usia 60 tahun bagaikan hidup kedua bagi ibu saya. Yang menjadi garis pembatas antara ‘kehidupan pertama’ dan ’kehidupan kedua’ ibu adalah saat dipanggilnya bapak menghadap Allah enam tahun silam, saat ibu berusia 56 tahun. Itu adalah momen yang bagaikan membelah kehidupan ibu menjadi dua.

Saat ibu masih hidup bersama bapak, dan juga keempat anaknya yang kini telah dewasa, beliau sungguh memainkan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai istri yang begitu mengabdi kepada suami. Tak bekerja dan murni ibu rumah tangga. Di zaman yang kala itu belum begitu kompleks seperti sekarang, ibu benar-benar berada di ‘zona nyaman’ dalam menjalankan perannya. Peran bapak sangat dominan. Beliau memang lokomotif keluarga kami di masa lalu. Ibu dan anak-anaknya yang masih muda cukup ‘menikmati’ posisi sebagai gerbong yang tinggal mengikuti ke mana sang lokomotif bergerak.

Efeknya, insting ibu sebagai wakil kepala keluarga tak terasah. Tantangan pun kurang didapat. Selama ada bapak, it was no big deal for her. Sang ‘decision maker’ konstan ada di garis depan. Ibu lebih berperan sebagai ‘advisor’ saja.

Semuanya berubah bagi ibu saat bapak meninggal pada 21 Desember 2005 silam. Ya, hanya berselang sehari sebelum Hari Ibu dan sehari sesudah ibu merayakan hari ulang tahunnya. Benar-benar kado pahit bagi beliau. Hari itu pun merupakan titik balik kehidupan ibu. Kepergian bapak membuat ibu limbung. Bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Tempat bersandar selama puluhan tahun itu telah pergi. Separuh nafas ibu telah pergi. Maklum, sebagai ibu rumah tangga, ibu menghabiskan sebagian besar hari-harinya di rumah, menjaga anak-anaknya dan menunggu suami pulang dari kerja.

Selama beberapa masa setelah meninggalnya bapak, ibu bagaikan kehilangan jati dirinya. Beliau tak siap mengemban tampuk kepala keluarga menggantikan bapak. Anak-anak ibu yang telah dewasa dan hampir semuanya telah menikah harus meninggalkan ibu untuk tinggal sendiri bersama keluarga mereka.

Ibu menjadi semakin pendiam dan sering menangis. Beliau bahkan sempat diopname di rumah sakit. Meskipun kami –anak-anak ibu- selalu hadir di sisi ibu untuk memberikan dukungan moril, namun tak bisa dimungkiri ibu sangat down menerima kenyataan bapak telah pergi. Kami hanya tak ingin ibu meratapi kepergian bapak. Itu tak baik.

Tapi ibu disayang Allah. Perlahan jalan untuk bangkit terbuka. Tahun demi tahun, cucu-cucu ibu lahir. Beliau pun tak lagi kesepian. Cucu-cucunya yang nakal seolah tak memberinya kesempatan untuk terus larut dalam duka. Ya, ibu telah bangkit. Sinar mentari pun kini hangat menyapa. Tak hanya itu, kualitas jasmani, sosial, dan spiritual ibu pun meningkat. Ibu kini tahu apa yang harus dilakukan. Ibu kini telah menemukan hidupnya kembali.

Pada suatu kesempatan, beliau pernah berkata kepada saya, “Ibu bersyukur bapak dipanggil begitu cepat. Jika sampai sekarang bapak masih diberi kesempatan hidup namun harus menanggung beban penyakit semakin parah, ibu yakin keluarga kita akan menanggung beban yang begitu berat sekarang”.

Ibu, engkaulah kini satu-satunya orang tua kami. Di usiamu yang semakin senja, anak-anakmu selalu berdoa agar engkau selalu diberkahi kesehatan. Doakan pula agar kami selalu menjadi anak-anak soleh yang akan selalu mendoakan bapak dan ibu...


.