Misalkan Anda baru pulang berlibur dari Amerika. Anda masih punya USD 2000 yang berupa pecahan USD 100 sejumlah 20 lembar. Anda berniat menukarkannya menjadi Rupiah. Karena Anda masih ingin melanjutkan liburan di Indonesia, sekalian menghabiskan uang itu (waduh…), maka Anda pun mencairkannya sebagian di kota-kota yang Anda kunjungi. Pertama di Batam, Anda menukarkan USD 500. Kemudian di Denpasar. Di Pulau Dewata itu Anda menukarkan USD 600. Terakhir, Anda pulang kampung ke Surabaya. Anda pun pergi ke bank untuk menukarkan sisa dolar Anda sebesar USD 900.
Tak disangka, muncul masalah. Petugas bank tidak mau menerima uang Anda, dengan alasan uang Anda bekas terlipat. Bank hanya mau menerima Dolar Amerika yang mulus dan kinyis-kinyis.
Sudah pasti dong Anda melancarkan protes keras. Lha di Batam dan Denpasar saja bisa, tapi di Surabaya kok ditolak. Apalagi alasannya seperti itu. Nggak masuk akal banget gitu loh.
Anda berhak marah. Dan Anda juga berhak tidak habis pikir. Tapi dengan berat hati saya katakan, ini kenyataan yang harus diterima di Surabaya. Kalaupun Anda mencoba ke bank lain atau money changer, sama saja. Kalaupun ada yang mau menerima, kurs tukarnya pasti diturunkan karena uang Anda dianggap kategori “second” atau bekas.
Mengapa hal ini bisa sampai terjadi? Ini jawabannya, yang saya rangkum berdasarkan pengalaman saya:
Di Indonesia, mata uang asing, terutama USD, diperlakukan sebagai barang dagangan (komoditas), bukan alat tukar-menukar (meskipun fungsi uang sebenarnya adalah alat tukar-menukar). Ini berlaku untuk semua mata uang asing. Tapi, bagaimanapun, uang Dolar Amerika yang paling sering mendapat perlakuan demikian. Ini karena Dolar Amerika mempunyai tradisi yang panjang di perekonomian dunia, dan yang masih terbanyak digunakan di seluruh dunia.
Tegasnya, kita jual dolar kita, dan bank punya hak membeli atau menolak. Jika bank bersedia membeli, pasti dilihat dahulu kondisi fisik uang kertas itu. Bagus atau jeleknya kondisi uang berpengaruh pada besarnya kurs tukar yang ditawarkan bank kepada kita. Atau ditolak, barangkali. Seperti kasus Anda tadi.
Seperti apa sih lembaran Dolar yang biasanya ditolak bank? Anda mungkin terheran-heran dengan penjelasan saya berikut:
- Kusut
- Terdapat garis permanen bekas lipatan
- Terdapat coretan spidol atau bolpoin, meskipun sedikit
- Terdapat noda kotoran apapun, meskipun sedikit
- Terdapat stempel
- Terdapat lipatan kecil di ujung uang, meskipun secara umum berfisik mulus
Nah, lalu bank hanya mau menerima yang kinyis-kinyis seperti uang baru? Ya cetak saja sendiri :P
2. Efek domino dari perilaku perusahaan pelayaran
Perusahaan pelayaran (shipping company) adalah salah satu lembaga yang banyak menggunakan USD banknote sebagai sarana menerima pembayaran transaksi mereka dari eksportir dan importir yang menggunakan jasa mereka. Bisa untuk pembayaran biaya tambang (sea freight), pembayaran THC (Terminal Handling Charges), dan pembayaran demurrage (biaya yang timbul karena barang masih tersimpan di pelabuhan melebihi jangka waktu yang ditentukan).
Lalu apa hubungannya USD banknote ditolak dan perusahaan pelayaran? Secara tidak langsung ada, dan itu sangat memengaruhi pola perdagangan USD banknote di Surabaya.
Ceritanya begini. Pada tahun 2003, peredaran USD banknote yang diterima di Surabaya -khusus pecahan 100- adalah emisi tahun 2001, yang memiliki nomor seri berawalan C (misalnya CA 12345678A). Pada tahun yang sama, The US Federal Reserve juga merilis emisi 2003 yang nomor serinya berawalan D dan emisi 2003A yang berawalan F.
Pada suatu hari, saya sedang melayani nasabah yang hendak membeli Dolar untuk dibayarkan kepada perusahaan pelayaran. Ketika saya menyodorkan pecahan USD 100 emisi 2001 yang bernomor seri dengan awalan CB, nasabah tersebut menolaknya. Dia beralasan, pelayaran pernah menolak seri CB miliknya karena pernah ditemukan seri tersebut palsu.
Singkat kata, seri tersebut menjadi tidak laku di Surabaya. Semua yang berseri CB dianggap palsu. Padahal, besar sekali kemungkinan kenyataannya tidak begitu. Parahnya, seiring berjalannya waktu, kasus seperti itu menjadi berkembang. Akhirnya, seluruh emisi 2001 ditolak di pasaran. Tidak hanya yang berawalan CB, tapi juga CA, CD, CK, dan seterusnya.
Pada 2006, emisi pecahan USD 100 diluncurkan, yang ditandai dengan nomor seri berawalan H. Pada tahun ini, emisi 2003 yang berawalan D sudah tidak laku di pasaran. Dan kini, tahun 2009, USD banknote pecahan 100 yang masih diterima luas di pasar Surabaya hanya emisi 2006 yang merupakan emisi terbaru hingga saat ini.
Dari penjelasan saya di atas, saya pikir Anda kini sudah memahami bagaimana efek domino dari perusahaan pelayaran.
Bagaimana? Anda juga pernah punya masalah dengan USD banknote? Silakan berbagi…
Saya baca karena tulisan saya dikutip di milis dan ada link kemari. Punten komentar saya posting di sini karena malas register di milis sana, silakan diposting di sana untuk khalayak. Begini: Bank dan Money Changer bisa mempengaruhi bahkan memaksa pasar!! Karena bank dan money changer punya asosiasi. Melalui asosiasi, keduanya bisa dibikin kompak. Sementara itu pasar begitu heterogen. Jika kerewelan bank itu dihapuskan, lambat laun juga pasar akan dapat menerima karena pasar juga butuh. Tapi memang perlu sosialisasi, waktu, dan pengorbanan tentunya.
BalasHapusSaya berikan analogi. Bis kota, metromini, mikrolet bahkan kereta api kelas ekonomi dapat berhenti di mana saja untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Di persimpangan jalan, di lampu merah, di tanda S coret, di tikungan, di mulut jalan. Gak peduli macet, pokoknya di mana saja. Mengapa? Jawaban basi sang supir, "Abis penumpang nyetopnya di situ". Artinya ada duit yg harus dipungut di sana. Kenapa penumpang nunggu di tempat ngaco yang bikin macet? Karena malas jalan ke tempat yg telah ditentukan, toh mereka gak bakal ditilang.
Nah, cobalah hentikan busway atau kereta eksekutif di mana saja. Karena tidak berhenti, tentunya penumpang pun menurut, berjalan lebih jauh, menanjak dan menuruni jembatan untuk ke tempat yang semestinya.
Untuk menuju ke kehidupan beradab, lebih mudah menertibkan bank, money changer seperti juga menertibkan para supir bis kota, mikrolet dan lain sebagainya, karena para supir itu bisa ditilang. Bayangkan jika harus menertibkan calon penumpang.
Otherwise, kita akan tetap biadab di beberapa segi kehidupan...
Masuk akal kan?
Salam hangat,
Kresna
astraatmadja@indosat.net.id
gak ngerti nih mksudnya apa ?> gan ?
BalasHapussaya suka gan dengan info nya sangat berguna deh
BalasHapusAmazing artikel…. Semoga saya bisa praktekan tipsnya dan berhasil
BalasHapusTerima Kasih, Tulisan yang sangat membantu. Salam Sukses!
BalasHapusaku paling senang dengan semua pengetahuan ini, terima kasih sudah berbagi ilmu
BalasHapusSetelah membaca Info dan Artikel, saya jadi ingin mencoba. Salam Sukses
BalasHapusTerima kasih atas Artikel dan Info yang selalu menambah wawasan.semoga sukses
BalasHapusTerimakasih Banyak Tips dan Artikelnya, boleh dicoba. Salam sukses
BalasHapusTerimakasih Artikelnya bermanfaat dan Infonya menambah Ilmu pengetahuan. Harus dicoba. Semoga berhasil
BalasHapussetelah saya mencari cari di beberapa Wibesite , saya menemukan Artikel yang Bagus dan bermanfaat. Patut di coba, sukses selalu
BalasHapusSaat membaca Artikel dan Tipsnya yang benar benar menarik. Jadi ingin mencoba. Salam sukses selalu
BalasHapuscemerlang Postingan dan Infonya.boleh dicoba. ditunggu info berikutnya. Terimaksih
BalasHapussaya akan coba tipsnya yang sangat berguna sekali
BalasHapussaya pasti coba
BalasHapuscemerlang Postingan dan Infonya.boleh dicoba. ditunggu info berikutnya. Terimaksih
BalasHapusTulisan dan Tipsnya sangat bermanfaat dan Infomatif. wajib dicoba. sukses selalu.
BalasHapuspernah punya dollar , cek fisik asli, cek serinya jadi palsu hadehhhh... bawa beberapa lembar ke singapura , ke moneychange di terima ..di indonesia tidak di terima..
BalasHapusAne br td siang mo nukarin dollar seri F, ternyata ditolak dimana2, krn no seri jadul, bank cm nerima yg no serinya H&K. Akhrnya ke money changer saja...
BalasHapusuanga kok ada barang bekasnya
BalasHapuscukup menambah informasi untuk saya
BalasHapusinfonya menarik
BalasHapus