11 Juni 2009
13 comments

UU 8/1999, ‘Senjata’ Prita yang Hilang

Kamis, Juni 11, 2009
KASUS Prita Mulyasari yang terus ‘panas’ mendorong saya ikut sharing. Terpaksa melenceng dari sharing masalah perbankan yang biasanya saya posting :). Tapi tidak mengapa, yang penting bisa berguna. Semoga…

Telah kita ketahui bersama, Prita Mulyasari –seorang ibu rumah tangga asal Tangerang- dijebloskan ke Lapas Wanita Tangerang setelah dijerat pidana dan perdata oleh Rumah Sakit (RS) Omni International Tangerang. Penyebabnya, pihak RS Omni International menganggap Prita telah mencemarkan nama baiknya melalui email Prita yang telah menyebar di dunia maya. Wanita berjilbab itu pun ‘digebuk’ dengan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Bola salju pun menggelinding. Kontroversi bermunculan. Demonstrasi terjadi di berbagai kota memberi dukungan untuk Prita. Komunitas Anti RS Omni International muncul di Facebook. Kasus itu sampai artikel ini ditulis masih berlanjut di pengadilan. Di satu sisi Prita mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Di sisi lain RS Omni International bergeming, tidak mau mencabut gugatannya terhadap Prita.

Semua itu karena UU ITE! Ya, karena undang-undang itulah ‘drama sinetron’ ini terjadi. Kita jadi melupakan sisi lain dari kasus Prita yang justru lebih substansial, yaitu PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Jika mau adu otot soal UU, seharusnya Prita dilindungi oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mungkin tak banyak yang tahu tentang UU yang disahkan Presiden BJ Habibie tanggal 20 April 1999 itu. Ya jelas lah, karena sosialisasinya kurang sekali. Tujuan dikeluarkan UU Perlindungan Konsumen adalah untuk mengangkat hak dan martabat konsumen yang seringkali tak berdaya saat ia merasa dirugikan oleh pihak penjual barang/ jasa. Tapi bagaimana itu bisa terwujud kalau pihak yang berkompeten justru berebut ‘tiarap’ semua. Mungkin mereka berpikir tidak ada benefitnya memperjuangkan konsumen yang umumnya ‘ordinary people’. Atau ‘grassroot’ malah.

Prita sendiri tampaknya juga tidak berpikir memanfaatkan UU Perlindungan Konsumen untuk memperjuangkan haknya sebagai konsumen RS Omni Internasional. Kemungkinan besar karena ia juga tak tahu. Padahal, UU ini memberikan ruang luas dan angin segar buat konsumen. Apa sajakah?

  • Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan (Pasal 26).
  • Konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya (Pasal 4h)
  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat 1)
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat 1 dapat berupa pengembalian uang
    atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 19 ayat 2).
Yang perlu dilakukan Prita adalah membuktikan bahwa komplainnya ke RS Omni Internasional adalah benar. Ia harus bisa menunjukkan bahwa pihak rumah sakit telah keliru melakukan diagnosis terhadap penyakit yang dideritanya. Jika benar begitu, RS Omni Internasional harus memberikan ganti rugi (Pasal 19 ayat 2) dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi. Itu pun tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut jika ada unsur kesalahan pihak RS.

Jika tidak dipatuhi, pihak RS bisa dikenai sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200 juta. Lebih jauh, jika didapati bukti ada pelanggaran yang menyebabkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, bisa dituntut pidana. Dan terhadap sanksi pidana tersebut dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, atau pencabutan izin usaha.

Nah, seharusnya UU 8/1999 yang ‘maju’ dan dijadikan senjata dalam kasus Prita, bukannya UU 11/2008 yang parameternya serba interpretatif. Namun sayangnya, UU 11/2008 yang ‘menjuarai kontes’, sehingga kasus itu dibawa ke ‘arah yang salah’. Kasihan Bu Prita. Mimpi apa Bu semalam…

13 comments:

  1. Semoga para penegak hukum lebih bijak lagi dalam menerapkan aturan

    BalasHapus
  2. It was a good read that obviously makes a good argument.

    BalasHapus
  3. Wow, fantastic weblog layout! How lengthy have you ever been blogging for? you make running a blog glance easy. The overall look of your web site is fantastic, as well as the content!

    BalasHapus
  4. nasibe wong cilik, kapan ono benere

    BalasHapus
  5. syukur kasusnya sudah selesai...sekarang ya?

    BalasHapus
  6. sekarang si prita dah jadi calon wakil gubernur atau calon buat dprd deh...mantep si prita ini

    BalasHapus
  7. saya tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah....

    BalasHapus
  8. begitulah nasib rakyat kecil selalu dalam tindasan

    BalasHapus
  9. Kasihan sekali nasib rakyat kecil selalu jadi korban pemerintah sendiri

    BalasHapus
  10. kasus ini lumayan heboh dan salut juga buat mbak Prita..

    BalasHapus
  11. met sore, terimakasih atas artikelnya, semoga blog ini sukses

    BalasHapus

 
Toggle Footer
Top